SEJARAH & PENGANTAR HUKUM ISLAM
SEJARAH HUKUM ISLAM DI INDONESIA
NAMA-NAMA
KELOMPOK I :
1.
RUMIATUN MUIS
2.
MUHAMMAD ULWAN HASBI B. ARSYAD
JURUSAN SYARI'AH
FAKULTAS
AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH KUPANG
2011
Bagian I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah
unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam
Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang
berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan.
Karena itu, menjadi sangat menarik untuk memahami alur
perjalanan sejarah hukum Islam di tengah-tengah komunitas Islam terbesar di
dunia itu. Pertanyaan-pertanyaan seperti seberapa jauh pengaruh kemayoritasan
kaum muslimin Indonesia itu terhadap penerapan hukum Islam di Tanah Air ? Maka
dapat dijawab dengan memaparkan sejarah hukum Islam sejak komunitas muslim
hadir di Indonesia. Di samping itu, kajian tentang sejarah hukum Islam di
Indonesia juga dapat dijadikan sebagai salah satu pijakan bagi umat Islam
secara khusus untuk menentukan strategi yang tepat di masa depan dalam
mendekatkan dan “mengakrabkan” bangsa ini dengan hukum Islam. Proses sejarah
hukum Islam yang diwarnai “benturan” dengan tradisi yang sebelumnya berlaku dan
juga dengan kebijakan-kebijakan politik-kenegaraan, serta tindakan-tindakan
yang diambil oleh para tokoh Islam Indonesia terdahulu setidaknya dapat menjadi
bahan telaah penting di masa datang. Setidaknya, sejarah itu menunjukkan bahwa
proses Islamisasi sebuah masyarakat bukanlah proses yang dapat selesai
seketika.
B. Maksud dan Tujuan
Selain untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Islam yang ada
di pada Fakultas Hukum Universitas Langlangbuana, yang kemudian penulisan
makalah ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan serta dapat
dan bisa memeberikan manfaat baik untuk almamater perguruan tinggi maupun bagi
dunia ilmu pengetahuan pada umumnya. walaupun tulisan ini tidak dapat
menguraikan secara lengkap dan detail setiap rincian sejarah hukum Islam di
Tanah air, namun setidaknya apa akan Penulis paparkan di sini dapat memberikan
gambaran tentang perjalanan hukum Islam, sejak awal kedatangan agama ini ke
bumi Indonesia hingga di era reformasi ini.
C. Identifikasi Masalah
Tidak dapat dipungkiri bahwa umat Islam di Indonesia adalah
unsur paling mayoritas. Dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam
Indonesia bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang
berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan.
Dari hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang
tersebut diatas maka ada beberapa pengidentifikasian masalah mengenai hal itu
yaitu bagaimana perkembangan serta keberadaan Hukum Islam pada :
- Masa Prapenjajahan Belanda
- Masa Penjajahan Belanda
- Masa Pendudukan Jepang
- Masa Kemerdekaan (1945)
- Era Orde Lama dan Orde Baru
- Era Reformasi
Bagian II
PEMBAHASAN
- Hukum Islam pada Masa Pra Penjajahan Belanda
Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut
sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah, atau pada sekitar
abad ketujuh dan kedelapan masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan
nusantara, kawasan utara pulau Sumatera-lah yang kemudian dijadikan sebagai
titik awal gerakan dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah
itu kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur.
Berkembangnya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya
kerajaan Islam pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini
dikenal dengan nama Samudera Pasai. Ia terletak di wilayah Aceh Utara.
Pengaruh dakwah Islam yang cepat menyebar hingga ke berbagai
wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa kerajaan Islam berdiri menyusul
berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh. Tidak jauh dari Aceh berdiri
Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri Kesultanan Demak, Mataram dan
Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri Kerajaan Gowa dan Kesultanan
Ternate serta Tidore.
Kesultanan-kesultanan tersebut sebagaimana tercatat dalam
sejarah, itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum positif
yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap kesultanan
tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang telah berkembang di
tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan dengan adanya
literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama nusantara pada sekitar
abad 16 dan 17. Dan kondisi terus berlangsung hingga para pedagang Belanda
datang ke kawasan nusantara.
- Hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda
Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara
dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia Timur,
atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat
dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan
sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai
perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan
fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan
fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan hukum Belanda yang
mereka bawa.
Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan
kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum
yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk
menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.
Kaitannya dengan hukum Islam, dapat dicatat beberapa
“kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:
v Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan
pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi
para pemeluk agama Islam.
v Adanya upaya kompilasi hukum
kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini
diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium
Freijer.
v Adanya upaya kompilasi serupa di
berbagai wilayah lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.
Di Semarang, misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan
nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi yang satu ini
memiliki kelebihan dibanding Compendium Freijer, dimana ia juga memuat
kaidah-kaidah hukum pidana Islam.
Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan
hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan
Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai gubernur
selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan terhadap
wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha keras
mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu menemui
kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan rakyat
jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan dar
al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk
menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan (1) menyebarkan agama Kristen
kepada rakyat pribumi, dan (2) membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada
aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.
Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan hukum
Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai berikut :
Ø Pada pertengahan abad 19, Pemerintah
Hindia Belanda melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang
secara sadar ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia
dengan hukum Belanda.
Ø Atas dasar nota disampaikan
oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan
penggunaan undang-undang agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal
persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan dengan
asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Klausa terakhir ini kemudian
menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari hukum Belanda.
Ø Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh
Snouck Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk
komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa
kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat
setempat).
Ø Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap
Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal
78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim akan
diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh hukum
adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi.
Lemahnya posisi hukum Islam ini
terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah
Indonesia pada tahun 1942.
- Hukum Islam pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat
kepada panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942,
segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu
diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang menegaskan bahwa
Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang sebelumnya dipegang oleh
Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini tentu saja berimplikasi
pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di
masa pendudukan Belanda.
Meskipun demikian, Pemerintah Pendudukan Jepang tetap
melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat Islam di Indonesia.
Diantaranya adalah:
- Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
- Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.
- Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
- Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) pada bulan oktober 1943.
- Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
- Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka
Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi
posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di Tanah air. Namun
bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi
adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-masalah
keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa, Kebijakan pemerintah Belanda
telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di bidang
agama yang terlatih di masjid-masjid atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda
menjalankan kebijakan politik yang memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan
Jepang datang, mereka menyadari bahwa Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia
yang dapat dimanfaatkan.
- Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan (1945)
Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru
kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan semakin
lemahnya langkah strategis Jepang memenangkan perang yang kemudian membuat
mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan Indonesia, Jepang mulai mengubah
arah kebijakannya. Mereka mulai “melirik” dan memberi dukungan kepada para
tokoh-tokoh nasionalis Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih
mempercayai kelompok nasionalis untuk memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak
mengherankan jika beberapa badan dan komite negara, seperti Dewan Penasehat
(Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan
kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini,
paling hanya 11 diantaranya yang mewakili kelompok Islam. Atas dasar itulah,
Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI “bukanlah badan yang dibentuk atas
dasar pemilihan yang demokratis, meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha
agar aggota badan ini cukup representatif mewakili berbagai golonga dalam
masyarakat Indonesia”.
Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian
berakhir dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat
kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara
berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia
merdeka bukan sebagai negara sekuler dan bukan pula negara Islam.
Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah
implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan
Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam Jakarta itu
akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh
PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu. Tapi semua versi
mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan golongan Kristen di
Indonesia Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang
opsir angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol
Shegeta Nishijima satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat
itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang
menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu dipertanyakan
mengingat Latuharhary bersama dengan Maramis, seorang tokoh Kristen dari
Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi itu saat sidang
BPUPKI.
Pada akhirnya, di periode ini, status hukum Islam tetaplah
samar-samar. Isa Ashary mengatakan, kejadian mencolok mata sejarah ini
dirasakan oleh umat Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi
kabut rahasia…suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam.
Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga
Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1950. Selama hampir lima tahun setelah
proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950).
Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali
menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil
menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan
negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia.
Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak
lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia
Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945
dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik Indonesia yang merupakan satu
dari 16 bagian negara Republik Indonesia Serikat.
Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk
dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah
Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam
sebagaimana rancangan UUD 1945 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula
dengan batang tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang
berkembang di Amerika dan Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.
Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya
tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur,
salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian
dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga
negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat
membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi
1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan tidak berlaku, digantikan
dengan UUD Sementara 1950. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam,
perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan
posisinya masih ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang tubuh UUD
Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan pasal 29 UUD
1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan negara
terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing. Juga
pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan
keagamaan. Kelebihan lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang
untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang
ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950. Peluang inipun
sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan
undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini
kemudian gagal akibat “hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan
undang-undang Perkawinan Nasional. Dan setelah itu, semua tokoh politik
kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru,
karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950
itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.
Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan
dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir
tahun 1955. Majelis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh
Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas
akhir masa kerjanya, Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang
dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan hukum Islam
dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan bahwa “Piagam
Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan “suatu kesatuan
dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat dan memperjelas
posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan menurut Anwar Harjono lebih dari sekedar
sebuah “dokumen historis”.
Namun bagaiamana dalam tataran aplikasi? Lagi-lagi
faktor-faktor politik adalah penentu utama dalam hal ini. Pengejawantahan
kesimpulan akademis ini hanya sekedar menjadi wacana jika tidak didukung oleh
daya tawar politik yang kuat dan meyakinkan.
Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya
beberapa pemberontakan yang diantaranya “bernuansakan” Islam dalam fase ini.
Yang paling fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo
dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya telah memproklamirkan negara
Islamnya pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari sebelum proklamasi
kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun ia melepaskan aspirasinya
untuk kemudian bergabung dengan Republik Indonesia. Tetapi ketika kontrol RI
terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi Belanda, terutama setelah
diproklamirkannya Negara boneka Pasundan di bawah kontrol Belanda, ia pun
memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1948. Namun pemicu
konflik yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat 25.000 korban tewas itu,
menurut sebagian peneliti, lebih banyak diakibatkan oleh kekecewaan
Kartosuwirjo terhadap strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri
dari upaya pendudukan Belanda kembali, dan bukan atas dasar apa yang mereka
sebut dengan “kesadaran teologis-politis”nya.
- Hukum Islam di Era Orde Lama dan Orde Baru
Mungkin tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa Orde Lama
adalah eranya kaum nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini
perlu sedikit merunduk dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai
yang mewakili aspirasi umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada
tanggal 15 Agustus 1960 oleh Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat
pemberontakan (PRRI di Sumatera Barat). Sementara NU –yang kemudian menerima
Manipol Usdek-nya Soekarno[27]- bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun
komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah
MPRS yang kemudian menghasilkan 2 ketetapan, salah satunya adalah tentang upaya
unifikasi hukum yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di
Indonesia. Meskipun hukum Islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama
ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang
untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi
ketidakjelasan batasan “perhatian” itu membuat hal ini semakin kabur. Dan peran
hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat yang semestinya.
Menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965 dan berkuasanya Orde
Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar dalam
upaya politik mereka mendudukkan Islam sebagaimana mestinya dalam tatanan
politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi kemudian Orde Baru membebaskan bekas
tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja,
Orde ini menegaskan perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di
awal 1967, Soeharto menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya
rehabilitasi kembali partai Masyumi.
Lalu bagaimana dengan hukum Islam?
Meskipun kedudukan hukum Islam sebagai salah satu sumber
hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde ini, namun upaya-upaya
untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H.
Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU, yang mencoba
mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan dukungan kuat
fraksi-fraksi Islam di DPR-GR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian dilanjutkan
dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di
Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil dengan lahirnya
UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah satu badan peradilan
yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan sendirinya menurut
Hazairin, hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri
sendiri.
Penegasan terhadap berlakunya hukum Islam semakin jelas
ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan. Hal ini
kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk mengompilasikan hukum Islam
di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan hasil saat pada bulan
Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasil kompilasi itu, dan
menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama.
- Hukum Islam di Era Reformasi
Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh demokrasi dan kebebasan
bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah melalui perjalanan yang
panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai menempati posisinya secara
perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber
Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan semakin membuka peluang
lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum Islam. Terutama pada
Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan daerah yang didasarkan
pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan bahwa peraturan itu
dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang bersifat umum.
Lebih
dari itu, disamping peluang yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan
hukum Islam dalam wujud undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang
nyata di era ini. Salah satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
dan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam
Nomor 11 Tahun 2002.
Dengan demikian, di era reformasi ini, terbuka peluang yang
luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di
Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan, dan bahkan
pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan sistem hukum Islam,
untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang berlaku dalam hukum
Nasional kita.
Bagian III
PENUTUP
Era reformasi yang penuh keterbukaan tidak pelak lagi turut
diwarnai oleh tuntutan-tuntutan umat Islam yang ingin menegakkan Syariat Islam.
Bagi penulis, ide ini tentu patut didukung. Namun sembari memberikan dukungan,
perlu pula kiranya upaya-upaya semacam ini dijalankan secara cerdas dan
bijaksana.
Karena menegakkan yang ma’ruf haruslah juga dengan
menggunakan langkah yang ma’ruf. Disamping itu, kesadaran bahwa perjuangan
penegakan Syariat Islam sendiri adalah jalan yang panjang dan berliku, sesuai
dengan sunnatullah-nya. Karena itu dibutuhkan kesabaran dalam menjalankannya.
Sebab tanpa kesabaran yang cukup, upaya penegakan itu hanya akan menjelma
menjadi tindakan-tindakan anarkis yang justru tidak sejalan dengan kema’rufan
Islam.
Proses “pengakraban” bangsa ini dengan hukum Islam yang
selama ini telah dilakukan, harus terus dijalani dengan kesabaran dan
kebijaksanaan. Disamping tentu saja upaya-upaya penguatan terhadap kekuatan dan
daya tawar politis umat ini. Sebab tidak dapat dipungkiri, dalam sistem
demokrasi, daya tawar politis menjadi sangat menentukan sukses-tidaknya suatu
tujuan dan cita-cita.
Daftar Pustaka
- Bahtiar Effendy, Islam dan Negara (Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia), Paramadina, Jakarta, Oktober 1998.
- Jimly Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, Seminar Penelitian Hukum tentang Eksistensi Hukum Islam dalam Reformasi Sistem Nasional, Jakarta, September 2000.
- Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, Mei 2005.
- http://balianzahab.wordpress.com/makalah-hukum/hukum-islam/hukum-islam-dalam-sejarah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar