USHUL FIQIH
SEJARAH PERKEMBANGAN USHUL FIQIH
NAMA-NAMA KELOMPOK IV :
1.
MUHAMMAD GUNTUR
2.
MUHAMMAD ULWAN HASBI B.
ARSYAD
3.
SITI RAHMAWATI B.
SYAMSUDDIN
4.
TAURAT ABDURAHMAN
JURUSAN TARBIYAH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUPANG
2011
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberikan
berbagai macam nikmat kepada kita semua terutama, nikmat Iman dan Islam.
Sehingga sampai sekarang kita bisa merasakan akan kenikmatan-kenikmatan
tersebut, terutama Allah telah memberikan nikmat kepada penyusun
makalah ini yang singkat dan padat seperti pada bab pembahasan makalah ini.
Dan apabila ada kata atau ucapan penulis yang tidak berkenan
dihati para pembaca, maka penulis sangat memerlukan kritikan dan masukan dari
para pembaca sekalian agar penulisan makalah selanjutnya bisa berjalan lancar
dan menyenangkan hati pembaca sekalian, Semoga makalah ini bisa memberikan
motivasi dan dorongan bagi para pembaca dan mudah-mudahan ada manfaatnya untuk
kita semua. Amin……..
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang 1
B.
Rumusan Masalah 2
C.
Tujuan 2
BAB II PEMBAHASAN
1.
Perkembangan Ushul Fiqih pada
masa Nabi 3
2.
Perkembangan Ushul Fiqih pada
masa Sahabat dan Tabi’in 5
3.
Pembukuan Ushul Fiqih 8
4.
Tahap-tahap Perkembangan
Ushul Fiqih 9
BAB III PENUTUP
Kesimpulan 14
DAFTAR PUSTAKA
15
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar
Belakang
Sebagaimana ilmu keagamaan lain dalam Islam,
ilmu ushul fiqih tumbuh dan berkembang dengan tetap berpijak pada Al-Quran dan
Sunnah, ushul fiqih tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah
ada sejak zaman Rosulullah dan sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian ushul
fiqih seperti ijtihad, qiyas, nasakh, dan takhsis sudah ada pada zaman
Rosulullah dan sahabat. Dan di masa Rasulullah saw, umat Islam tidak
memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syar’i, semua
permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah saw lewat penjelasan
beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau saw.
Pada masa tabi’in cara
mengistinbath hukum semakin berkembang. Di antara mereka ada yang menempuh
metode maslalah atau metode qiyas di samping berpegang pula pada fatwa sahabat
sebelumnya. Pada masa tabi’in inilah mulai tampak perbedaan-perbedaan mengenai
hukum sebagai konskuensi logis dari perbedaan metode yang digunakan oleh para
ulama ketika itu. ( Abu Zahro : 12 ).
Corak perbedaan pemahaman
lebih jelas lagi pada masa sesudah tabi’in atau pada masa Al- Aimmat Al-
Mujtahidin. Sejalan dengan itu, kaidah-kaidah istinbath yang digunakan juga
semakin jelas bentuk-bentuknya. Abu Hanifah misalnya menempuh metode qiyas dan
istihsan. Sementara Imam Malik berpegang pada amalan mereka lebih dapat
dipercaya dari pada hadis ahad (Abu Zahro: 12).
Apa yang dikemukakan diatas
menunjukkan bahwa sejak zaman Rasulullah saw., sahabat, tabi’in dan sesudahnya,
pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode
pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain,
belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri
- Rumusan Masalah
- Bagaimana perkembangan ushul fiqih pada
masa Nabi?
- Bagaimana perkembangan ushul fiqih pada
masa sahabat dan tabi’in?
- Bagaimana pembukuan ushul fiqih?
- Bagaimana tahap-tahap perkembangan ushul fiqih?
- Tujuan Penulisan
Dalam penulisan makalah ini kami mencoba mengulas
tuntas tentang sejarah perkembangan ushul fiqh mulai
zaman Nabi hingga sampai ushul fiqih menjadi sebuah disiplin ilmu tertsendiri.
Agar kita mengerti tentang sejarahnya dan dapat bermanfaat bagi semua orang
khususnya umat Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
- Perkembangan ushul fiqih pada masa Nabi.
Di zaman Rasulullah SAW
sumber hukum Islam hanya dua, yaitu Al-Quran dan Assunnah. Apabila suatu kasus
terjadi, Nabi SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum kasus
tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Rasulullah SAW menetapkan hukum kasus
tersebut melalui sabdanya, yang kemudian dikenal dengan hadits atau sunnah.
Hal ini antara lain dapat
diketahui dari sabda Rasulullah SAW sebagai berikut:
“Sesungguhnya saya memberikan keputusan
kepada kamu melalui pendapatku dalam hal-hal yang tidak diturunkan wahyu
kepadaku.” (HR. Abu Daud dari Ummu Salamah).
Hasil ijtihad Rasulullah
ini secara otomatis menjadi sunnah bagi Umat Islam. Hadits tentang pengutusan
Mu’az Ibn Jabal ke Yaman sebagai qadi, menunjukkan perijinan yang luas untuk
melakukan ijtihad hukum pada masa Nabi. Dalam pengutusan ini Nabi bersabda :
كيف
تقض ادا عر ض لك قضا ء ؟ قال ا قض بكتا ب الله قال فا ن لم تجد ف كتا ب الله؟ قال
فبسنة ر سو ل الله قال فان لم تجد في سنة ر سو ل الله قال اجتهد راى ولا لو فضرب
رسو ل الله على صدره وقال ا ا لحمد ا ا لذي و فق رسو ل اللهكما ير ض ر سسو ل الله
“Bagaimana
engkau (mu’az) mengambil suatu keputusan hukum terhadap permasalahan hukum yang
diajukan kepadamu? Jawab mu’az saya akan mengambil suatu keputusan hukum
berdasarkan kitab Allah (Al-Quran). Kalau kamu tidak menemukan dalam kitab
Allah? Jawab Mu’az, saya akan mengambil keputusan berdasarkan sunnah Rasulullah. Tanya Nabi, jika engkau
tidak ketemukan dalam sunnah? Jawab Mu’az, saya akan berijtihad, dan saya tidak
akan menyimpang. Lalu Rasulullah menepuk dada Mu’az seraya mengatakan segala
puji bagi Allah yang telah memberi taufik utusan Rasulnya pada sesuatu yang
diridhai oleh Allah dan rasulnya.”
Hadits
ini secara tersurat tidak menunjukkan adanya upaya Nabi untuk mengembangkan
Ilmu Ushul Fiqh, tapi secara tersirat jelas Nabi telah memberikan keluasan
dalam mengembangkan akal untuk menetapkan hukum yang belum tersurat dalam
Al-Quran dan Sunnah.
Artinya dengan keluwesannya Nabi dalam melakukan
pemecahan masalah-masalah ijtihadiyah telah memberikan legalitas yang kuat
terhadap para sahabat. Dalam sebuah haditsnya yang mengandung kebolehan bagi
manusia untuk mencari solusi terhadap urusan-urusan keduniaan Rasulullah
bersabda :
ا نتم ا علم با مو ر د
نيا كم
“Kamu
lebih mengetahui tentang urusan duniamu.”
Dorongan untuk melakukan
ijtihad itu tersirat juga dalam hadits Nabi yang menjelaskan tentang pahala
yang diperoleh seseorang yang melakukan ijtihad sebagai upaya yang
sungguh-sungguh dalam mencurahkan pemikiran baik hasil usahanya benar atau
salah.
Selain dalam bentuk anjuran
dan pembolehan ijtihad oleh Nabi di atas, Nabi sendiri pada dasarnya telah
memberikan isyarat terhadap kebolehan melakukan ijtihad setidak-tidaknya dalam
bentuk qiyas sebagaimana dapat kita temukan dalam hadits-haditnya sebagai
berikut :
جات ا مر ا ة خثيمية فقا
لت يا ر سو ل ا لله ان ابى اد ر كته ف رضه احغ و لم يحج و هو لا يتمسك على الر حا
لة لمر ضه افا حج عنه ؟ فقا ل ر سو ل الله عليه و سلم ار ايت لو كا ن على ا بيك
دين اقتضيته عنه قا لت نعم قال فدين ا لله ا حق ان يقض
“Seorang wanita namanya
Khusaimiah datang kepada Nabi dan bertanya, Ya Rasulullah ayah saya seharusnya
telah menunaikan haji, dia tidak kuat duduk dalam kendaraan karena sakit,
Apakah saya harus melakukan haji untuknya? Jawab Rasulullah dengan bertanya
bagaimana pendapatmu bila Ayahmu mempunyai utang? Apakah engkau harus membayar?
Perempuan itu menjawab , Ya, Nabi berkata utang kepada Allah lebih utama untuk
dibayar”.
Hadits ini menggambarkan
upaya qiyas yang dilakukan oleh Nabi, yaitu ketika seorang sahabat datang
kepada Nabi yang menanyakan tentang keharusan penunaian kewajiban ibadah haji
bapaknya yang mengidap sakit, Nabi menegaskan keharusan penunaiannya dengan melakukan
pengqiyasan terhadap pembayaran utang antara sesama manusia.
da satu hal yang perlu dicatat, kehadiran Nabi
sebagai pemegang otoritas tunggal dalam permasalahan-permasalahan hukum membuat
Nabi sangat berhati-hati disatu pihak, dan terbuka dipihak lain. Sikap
hati-hati yang ditempuh oleh Nabi dalam rangka penerapan hukum Islam bidang
ibadah. Penjelasan Nabi yang berkaitan dengan ini cukup rinci. Wahyu memegang
peranan sangat penting. Sikap terbuka yang ditempuh oleh Nabi dalam upaya
pengembangan hukum Islam bidang muamalah.
Berbeda dengan ibadah,
dalam muamalah penjelasan Nabi lebih banyak bersifat garis besar, sedangkan
perincian dan penjelasan pelaksanaannya diserahkan kepada manusia. Manusia
dengan akal yang dianugerahkan kepadanya diberi peranan lebih banyak. Artinya,
ini pulalah salah satu faktor yang ikut mendukung terhadap pertumbuhan ilmu
ushul fiqh selanjutnya.
Dalam beberapa kasus,
Rasulullah SAW juga menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan para sahabat.
Misalnya ketika menjawab pertanyaan Umar Ibn Khatab tentang batal atau tidaknya puasa seseorang yang
mencium istrinya. Rasulullah SAW bersabda :
“Apabila
kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa, apakah puasamu batal?” Umar
menjawab:”Tidak apa-apa” (tidak batal). Rasulullah
kemudian bersabda “maka teruskan
puasamu.”(HR. Al-Bukhari, muslim, dan Abu Dawud).
Hadits ini
mengidentifikasikan kepada kita bahwa Rasulullah SAW jelas telah menggunakan
qiyas dalam menetapkan hukumnya, yaitu dengan mengqiyaskan tidak batalnya
seseorang yang sedang berpuasa karena mencium istrinya sebagaimana tidak
batalnya puasa karena berkumur-kumur.
- Perkembangan ushul fiqih pada masa sahabat dan
tabi’in
Ø
Pada masa sahabat
Memang, semenjak masa
sahabat telah timbul persoalan-persoalan baru yang menuntut ketetapan hukumnya.
Untuk itu para sahabat berijtihad, mencari ketetapan hukumnya. Setelah wafat
Rasulullah SAW sudah barang tentu berlakunya hasil ijtihad para sahabat pada
masa ini, tidak lagi disahkan oleh Rasulullah SAW, sehingga dengan demikian
semenjak masa sahabat ijtihad sudah merupakan sumber hukum.
ebagai
contoh hasil ijtihad para sahabat, yaitu : Umar bin Khattab RA tidak
menjatuhkan hukuman potong tangan kepada seseorang yang mencuri karena
kelaparan (darurat/terpaksa). Dan Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa wanita
yang suaminya meninggal dunia dan belum dicampuri serta belum ditentukan
maharnya, hanya berhak mendapatkan mut'ah. Ali menyamakan kedudukan wanita
tersebut dengan wanita yang telah dicerai oleh suaminya dan belum dicampuri
serta belum ditentukan maharnya, yang oleh syara' ditetapkan hak mut'ah
baginya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah :
لا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ
فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ
قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
Artinya :
"Tidak ada sesuatupun (mahar)
atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan
mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu memberikan
mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan
orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang
patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat
kebajikan." (Al-Baqarah : 236).
Dari contoh-contoh ijtihad
yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, demikian pula oleh para sahabatnya baik di
kala Rasulullah SAW masih hidup atau setelah beliau wafat, tampak adanya
cara-cara yang digunakannya, sekalipun tidak dikemukakan dan tidak disusun kaidah-kaidah
(aturan-aturan)nya sebagaimana yang kita kenal dalam Ilmu Ushul Fiqh, karena pada
masa Rasulullah SAW dan pula pada masa sahabatnya, tidak dibutuhkan adanya
kaidah-kaidah dalam berijtihad dengan kata lain pada masa Rasulullah SAW dan
pada masa sahabat telah terjadi praktek berijtihad, hanya saja pada waktu-waktu
itu tidak disusun sebagai suatu ilmu yang kelak disebut dengan Ilmu Ushul Fiqh
karena pada waktu-waktu itu tidak dibutuhkan keberadanya. Yang demikian itu,
karena Rasulullah SAW mengetahui cara-cara nash dalam menunjukkan hukum baik
secara langsung atau tidak langsung, sehingga beliau tidak membutuhkan adanya
kaidah-kaidah dalam berijtihad, karena mereka mengetahui sebab-sebab turun
(asbabun nuzul) ayat-ayat Al-Qur'an, sebab-sebab datang (asbabul wurud) Al-
Hadits, mempunyai ketazaman dalam memahami rahasia-rahasia, tujuan dan
dasar-dasar syara' dalam menetapkan hukum yang mereka peroleh karena mereka
mempunyai pengetahuan yang luas dan mendalam terhadap bahasa mereka sendiri
(Arab) yang juga bahasa Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dengan pengetahuan yang mereka
miliki itu, mereka mampu berijtihad tanpa membutuhkan kaidah-kaidah.
Ø Pada
masa tabi’in
ada
masa tabi'in, tabi'it-tabi'in dan para imam mujtahid, di sekitar abad II dan
III Hijriyah wilayah kekuasaan Islam telah menjadi semakin luas, sampai ke
daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak
berbahasa Arab dan beragam pula situasi dan kondisinya serta adat istiadatnya.
Banyak diantara para ulama yang bertebaran di daerah-daerah tersebut dan tidak
sedikit penduduk daerah-daerah itu yang memeluk agama Islam. Dengan semakin
tersebarnya agama Islam di kalangan penduduk dari berbagai daerah tersebut,
menjadikan semakin banyak persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak
didapati ketetapan hukumnya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah. Untuk itu para ulama
yang tinggal di berbagai daerah itu berijtihad mencari ketetapan hukumnya.
Karena banyaknya
persoalan-persoalan hukum yang timbul dan karena pengaruh kemajuan ilmu
pengetahuan dalam berbagai bidang yang berkembang dengan pesat yang terjadi
pada masa ini, kegiatan ijtihad juga mencapai kemajuan yang besar dan lebih
bersemarak.
Dalam pada itu, pada masa
ini juga semakin banyak terjadi perbedaan dan perdebatan antara para ulama
mengenai hasil ijtihad, dalil dan jalan-jalan yang ditempuhnya. Perbedaan dan
perdebatan tersebut, bukan saja antara ulama satu daerah dengan daerah yang
lain, tetapi juga antara para ulama yang sama-sama tinggal dalam satu daerah. Kenyataan-kenyataan
di atas mendorong para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah syari'ah yakni
kaidah-kaidah yang bertalian dengan tujuan dan dasar-dasar syara' dalam
menetapkan hukum dalam berijtihad.
Demikian pula dengan
semakin luasnya daerah kekuasan Islam dan banyaknya penduduk yang bukan bangsa
Arab memeluk agama Islam. Maka terjadilah pergaulan antara orang-orang Arab
dengan mereka. Dari pergaulan antara orang-orang Arab dengan mereka itu membawa
akibat terjadinya penyusupan bahasa-bahasa mereka ke dalam bahasa Arab, baik
berupa ejaan, kata-kata maupun dalam susunan kalimat, baik dalam ucapan maupun
dalam tulisan. Keadaan yang demikian itu, tidak sedikit menimbulkan keraguan
dan kemungkinan-kemungkinan dalam memahami nash-nash syara'. Hal ini mendorong
para ulama untuk menyusun kaidah-kaidah lughawiyah (bahasa), agar dapat
memahami nash-nash syara' sebagaimana dipahami oleh orang-orang Arab sewaktu
turun atau datangnya nash-nash tersebut.
Dengan disusunnya
kaidah-kaidah syar'iyah dan kaidah-kaidah lughawiyah dalam berijtihad pada abad
II Hijriyah, maka telah terwujudlah Ilmu Ushul Fiqh. Dikatakan oleh Ibnu Nadim
bahwa ulama yang pertama kali menyusun kitab Ilmu Ushul Fiqh ialah Imam Abu
Yusuf -murid Imam Abu Hanifah- akan tetapi kitab tersebut tidak sampai kepada
kita.
iterangkan
oleh Abdul Wahhab Khallaf, bahwa ulama yang pertama kali membukukan
kaidah-kaidah Ilmu Ushul Fiqh dengan disertai alasan-alasannya adalah Muhammad
bin Idris asy-Syafi'iy (150-204 H) dalam sebuah kitab yang diberi nama
Ar-Risalah. Dan kitab tersebut adalah kitab dalam bidang Ilmu Ushul Fiqh yang
pertama sampai kepada kita. Oleh karena itu terkenal di kalangan para ulama,
bahwa beliau adalah pencipta Ilmu Ushul Fiqh.
- Pembukuan
ushul fiqih
Salah satu yang mendorong
diperlukannya pembukuan ushul fiqih adalah perkembangan wilayah Islam yang
semakin luas, sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya berbagai persoalan
yang belum diketahui kedudukan hukumnya. Untuk itu, para ulama Islam sangat
membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan
dalam menggali dan menetapkan hukum.
Sebenarnya, jauh sebelum
dibukukannya ushul fiqih, ulama-ulama terdahulu telah membuat teori-teori ushul
yang dipegang oleh para pengikutnya masing-masing. tak heran jika pengikut para
ulama tersebut mengklaim bahwa gurunyalah yang pertama menyusun kaidah-kaidah
ushul fiqih.
Golongan Hanafiyah misalnya
mengklaim bahwa yang pertama menyusun ilmu Ushul Fiqih ialah Abu Hanifah, Abu
Yusuf Dan Ibnu Ali-Al Hasan. Alasan mereka bahwa Abu Hanifah merupakan orang
yang pertama menjelaskan metode istinbath dalam kitabnyanya Ar-Ra'yu. Dan Abu
Yusuf Abu Yusuf adalah orang yang pertama menyusun ushul fiqh dalam madzhab
hanafi, demikian pula Muhammad Ibnu Al-Hasan telah menyusun ushul fiqh sebelum
As-Syafi'ie, bahkan As-Syafi'i berguru kepadanya.
Golongan As-Syafiiyah juga
mengklaim bahwa Imam As-Syafi'i lah orang yang pertama yang menyusun kitab
ushul fiqh. Hal ini di ungkapkan oleh Al-Allamah Jamal Ad-Din Abd Ar-Rohman
Ibnu Hasan Al-Asnawi. Menurutnya, "tidak
diperselisihkan lagi " Imam Syafi'i adalah tokoh besar yang
pertama-tama menyusun kitab dalam ilmu ini, yaitu kitab yang tidak asing lagi
dan yang sampai kepada kita sekarang, yakni kitab Al-Risalah2
alau
dikembalikan pada sejarah, yang pertama berbicara tentang ushul fiqih sebelum
dibukukannya adalah para sahabat dan tabi’in. Hal ini tidak diperselisihkan
lagi. Namun yang diperselisihkan adalah orang yang mula-mula mengarang kitab
ushul fiqih sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri yang bersifat umum dan mencakup
segala aspeknya. Untuk itu kita perlu mengetahui terlebih dahulu teori-teori
penulisan dalam ilmu ushul fiqih. Secara garis besar ada dua teori penulisan
yang dikenal yakni.
Pertama,
merumuskan kaidah-kaidah fiqiyah bagi setiap bab dalam bab fiqih dan
menganalisisnya serta mengaplikasikan masalah furu’ atas kaidah-kaidah
tersebut. Teori inilah yang ditempuh oleh golongan Hanafi dan merekalah yang
merintisnya.
Kedua,
merumuskan kaidah-kaidah yang dapat menolong seorang
mujtahit dan meng-istinbat hukum dari sumber hukum syar’i, tanpa terikat oleh
pendapat seorang faqih atau suatu pemahaman yang sejalan dengannya maupun yang
bertentangan. Cara inilah yang ditempuh Asy-syafi’i dalam kitabnya ar-risalah,
suatu kitab yang tersusun secara sempurna dalam bidang ilmu ushul dan
independen. Kitab seperti ini belum ada sebelumya, menurut ijma’ ulama dan
catatan sejarah (sulaiman : 64).
- Tahapan
perkembangan ushul fiqih
Secara garis besarnya,
ushul fiqh dapat di bagi dalam tiga tahapan yaitu :
Pada abad 3 H di bawah
pemerintahan Abassiyah wilayah Islam semakin meluas kebagian timur. Khalifah-khalifah
yang berkuasa dalam abad ini adalah : Al-Ma'mun (w. 218 H), Al-Mu'tashim (w. 227
H), Al Wasiq (w. 232 H), dan Al-Mutawakil (w. 247 H) pada masa mereka inilah
terjadi suatu kebangkitan ilmiah dikalangan Islam yang dimulai dari
kekhalifahan Ar-rasyid. salah satu hasil dari kebangkitan berfikir dan semangat
keilmuan Islam ketika itu adalah berkembangnya bidang fiqh yang pada giliranya
mendorong untuk disusunya metode berfikir fiqih yang disebut ushul fiqh.
Seperti telah dikemukakan,
kitab ushul fiqh yang pertama-tama tersusun secara utuh dan terpisah dari
kitab-kitab fiqh ialah Ar-Risalah karangan As-Syafi'i. kitab ini dinilai oleh
para ulama sebagai kitab yang bertnilai tinggi. Ar-Razi berkata "kedudukan
As-Syafi'i dalam ushul fiqh setingkat dengan kedudukan Aristo dalam ilmu Manthiq
dan kedudukan Al-Khalil Ibnu Ahmad dalam ilmu Ar-rud".
lama
sebelum As-Syafi'i berbicara tentang masalah-masalah ushul fiqh dan
menjadikanya pegangan, tetapi mereka belum memperoleh kaidah-kaidah umum yang
menjadi rujukan dalam mengetahui dalil-dalil syari'at dan cara memegangi dan
cara mentarjih kanya: maka datanglah Al-Syafi'i menyusun ilmu ushul fiqih yang
merupakan kaidah-kaidah umum yang dijadikan rujukan-rujukan untuk mengetahui
tingkatan-tingkatan dalil syar'i, kalaupun ada orang yang menyusun kitab ilmu
ushul fiqh sesudah As-Syafi’i, mereka tetap bergantung pada Asy-Syafi'i karena
Asy-Syafi'ilah yang membuka jalan untuk pertama kalinya.
Selain kitab Ar-Risalah
pada abad 3 H telah tersusun pula sejumlah kitab ushu fiqh lainya. Isa Ibnu Iban
(w. 221 H\835 M) menulis kitab Itsbat Al-Qiyas. Khabar Al-Wahid, ijtihad Ar-Ra'yu.
Ibrahim Ibnu Syiar Al-Nazham (w. 221 H\835 M) menulis kitab An-Nakl dan
sebagainya.
Namun perlu diketahui pada
umumnya kitab ushul-fiqh yang ada pada abad 3 H ini tidak mencerminkan
pemikiran-pemikiran ushul fiqh yang utuh dan mencakup segala aspeknya kecuali
kitab Ar-Risalah itu sendiri. Kitab Ar-Risalah lah yang mencakup
permasalahan-permasalahan ushuliyah yang menjadi pusat perhatian Para Fuqoha
pada zaman itu.
Disamping itu, pemikiran
ushuliyah yang telah ada, kebanyakan termuat dalam kitab-kitab fiqh, dan inilah
salah satu penyebab pengikut ulama-ulama tertentu mengklaim bahwa Imam
Madzhabnya sebagai perintis pertama ilmu ushul fiqh tersebut. Golongan
Malikiyah misalnya mengklaim imam madzhabnya sebagai perintis pertama ushul
fiqh dikarenakan Imam Malik telah menyinggung sebagian kaidah-kaidah ushuliyyah
dalam kitabnya Al Muwatha. Ketika ia ditanya tentang kemungkinan adanya dua
hadits shoheh yang berlawanan yang datang dari Rasulluloh pada saat yang sama,
Malik menolaknya dengan tegas, karena ia berperinsip bahwa kebenaran itu hanya
terdapat dalam satu hadits saja
- Tahap perkembangan (abad 4 H)
Pada masa ini (abad 4 H)
merupakan abad permulaan kelemahan Dinasty Abassiyah dalam bidang politik.
Dinasty Abassiyah terpecah menjadi daulah-daulah kecil yang masing-masing
dipimpin oleh seorang sultan. Namun demikian tidak berpengaruh terhadap
perkembangan semangat keilmuan dikalangan para ulama ketika itu karena masing-masing
penguasa daulah itu berusaha memajukan negrinya dengan memperbanyak kaum
intelektual.
husus
dibidang pemikiran fiqh Islam pada masa ini mempunyai karakteristik tersendiri
dalam kerangka sejarah tasyri' Islam. Pemikiran liberal Islam berdasarkan
ijtihad muthlaq berhenti pada abad ini. mereka mengangagap para ulama terdahulu
mereka suci dari kesalahan sehingga seorang faqih tidak mau lagi mengeluarkan
pemikiran yang khas, terkecuali dalam hal-hal kecil saja, akibatnya
aliran-aliran fiqh semakin mantap exsitensinya, apa lagi disertai fanatisme
dikalangan penganutnya. Hal ini ditandai dengan adanya kewajiban menganut
madzhab tertentu dan larangan melakukan berpindahan madzhab sewaktu-waktu.
Namun demikian, keterkaitan
pada imam-imam terdahulu tidak dikatakan taqlid, karena masing-masing pengikut
madzhab yang ada tetap mengadakan kegiatan ilmiah guna menyempurnakan apa yang
dirintis oleh para pendahulunya.dengan melakukan usaha antara lain:
- Memperjelas ilat-ilat hukum yang di istinbathkan
oleh para imam mereka mereka disebut ulama takhrij
- Mentarjihkan pendapat-pendapat yang berbeda dalam
madzhab baik dalam segi riwayat dan dirayah.
- Setiap golongan mentarjihkanya dalam berbagai
masalah khilafiyah. Mereka menyusu kitab al-khilaf
Akan tetapi tidak bisa di
ingkari bahwa pintu ijtihad pada periode ini telah tertutup, akibatnya dalam
perkembangan fiqh Islam adalah sebagai berikut:
- Kegiatan para ulama terbatas terbatas dalam
menyampaikan apa yang telah ada, mereka cenderung hanya mensyarahkan
kitab-kitab terdahulu atau memahami dan meringkasnya.
- Menghimpun masalah-masalah furu yang sekian
banyaknya dalam uaraian yang sungkat
- Memperbanyak pengandaian-pengandaian dalam beberapa
masalah permasalahan.
Keadaan tersebut sangat,
jauh berbeda di bidang ushul fiqh. Terhentinya ijtihad dalam fiqh dan adanya
usaha-usaha untuk meneliti pendapat-pendapat para ulama terdahulu dan
mentarjihkanya. Justru memainkan peranan yang sangat besar dalam bidang ushul
fiqh.
Sebagai tanda berkembangnya
ilmu ushul fiqh dalam abad 4 H ini ditandai dengan munculnya kitab-kitab ushul
fiqh yang merupakan hasil karaya ulama-ulama fiqh, diantara kitab yang
terekenal adalah:
- Kitab Ushul Al-Kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubaidillah
Ibnu Al-Husain Ibnu Dilal Dalaham Al-Kharkhi (w. 340 H)
- itab Al
–Fushul Fi-Fushul Fi-Ushul, ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Baker Ar-Razim
yang juga terkenal dengan Al-Jasshah (w. 305 H)
- Kitab Bayan Kasf Al-Ahfazh, ditulis oleh abu Muhammad
Badr Ad-Din Mahmud Ibnu Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi.
Ada beberapa hal yang
menjadi ciri khas dalam perkembangan ushul fiqh pada abad 4 H yaitu munculnya
kitab-kitab ushul fiqh yang membahas ushul fiqh secara utuh dan tidak
sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Kalaupun ada
yang membahas hanya kitab-kitab tertentu, hal itu semata-mata untuk menolak
atau memperkuat pandangan tertentu dalam masalah itu.
Selain itu Materi berpikir
dan penulisan dalam kitab-kitab yang ada sebelumnya dan menunjukan bentuk yang
lebih sempurna, sebagaimana dalam kitab fushul-fi al-ushul karya Abu Baker Ar-razi
hal ini merupakan corak tersendiri dalam perkembangan ilmu ushul fiqh pada awal
abad 4 H, juga tampak pula pada abad ini pengaruh pemikiranyang bercorak
filsafat, khususnya metode berfikir menurut ilmu manthiq dalam ilmu ushul
fiqih.
- Tahap
penyempurnaan ( 5 - 6 H )
Kelemahan politik di
Baghdad, yang ditandai dengan lahirnya beberapa daulah kecil, membawa arti bagi
perkembanangan peradaban dunia Islam. Peradaban Islam tak lagi berpusat di
Baghdad, tetapi juga di kota-kota seperti Cairo, Bukhara, Ghaznah, dan Markusy.
Hal itu disebabkan adanya perhatian besar dari para sultan, raja-raja penguasa
daulah-daulah kecil itu terhadap perkembangan ilmu dan peradaban.
ingga
berdampak pada kemajuan dibidang ilmu ushul fiqih yang menyebabkan sebagian
ulama memberikan perhatian khusus untuk mendalaminya, antara lain Al-Baqilani, Al-Qhandi,
abd. Al-jabar, abd. Wahab Al-Baghdadi, Abu Zayd Ad Dabusy, Abu Husain Al
Bashri, Imam Al-Haramain, Abd. Malik Al-Juwani, Abu Humaid Al Ghazali dan
lain-lain. Mereka adalah pelopor keilmuan Islam di zaman itu. Para pengkaji
ilmu keislaman di kemudian hari mengikuti metode dan jejak mereka, untuk
mewujudkan aktivitas ilmu ushul fiqih yang tidak ada bandinganya dalam penulisan
dan pengkajian keislaman, itulah sebabnya pada zaman itu generasi Islam pada
kemudian hari senantiasa menunjukan minatnya pada produk-produk ushul fiqih dan
menjadikanya sebagi sumber pemikiran.
Dalam sejarah pekembangan
ilmu ushul fiqih pada abad 5 H dan 6 H ini merupakan periode penulisan ushul
fiqih terpesat yang diantaranya terdapat kitab-kitab yang menjadi kitab standar
dalam pengkajian ilmu ushul fiqih selanjutnya.
itab-kitab
ushul fiqih yang ditulis pada zaman ini, disamping mencerminkan adanya kitab
ushul fiqih bagi masing-masing madzhabnya, juga menunjukan adanya aliran ushul
fiqih, yakni aliran hanafiah yang dikenal dengan aliran fuqoha, dan aliran
Mutakalimin
BAB
III
Kesimpulan
Dari penjelasan-penjelsan
di atas dapat disimpulkan
- Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak
zaman Rasulullah SAW., sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum
Islam mengalami perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran
belum terbukukan dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum
terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri
- Karena timbulnya berbagai persoalan yang belum
diketahui hukumnya. Untuk itu, para ulama Islam sangat membutuhkan
kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk dijadikan rujukan dalam
menggali dan menetapkan hukum maka disusunlah kitab ushul fiqih .
- ahwa
kegiatan ulama dalam penulisan ushul fiqih merupakan salah satu upaya
dalam menjaga keasrian hukum syara’. Dan menjabarkanya dalam kehidupan
social yang berubah-ubah itu, kegiatan tersebut dimulai pada abad ketiga
hijriyah. ushul fiqih terus berkembang menuju kesempurnaannya hingga abad
kelima dan awal abad keenam H, abad tersebut merupakan abad keemasan
penulisan ilmu ushul fiqh, Karena banyak ulama yang memusatkan perhatianya
pada bidang ushul fiqih dan juga muncul kitab-kitab fiqih yang menjadi
standar dan rujukan untuk ushul fiqih selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
- Rahmat
Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih, cv pustaka setia bandung, 2007
- Hasim
Kamali, Muhammad, Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam, Pustaka
Pelajar Offset, 1996
- http://mashurimas.blogspot.com/2010/12/makalah-sejarah-perkembangan-ushul.html
- Muhammad ibn Hasan ibn Hasan
al-Jizani, Mu’alimu Ushul Fiqh ‘inda Ahlu Sunnah wal
Jama’ah, (Riyad: Dar ibnul Jauzi, 1419 H), hal. 216.
- Wahbah al- Zuhaily, Ushul Fiqh
al-Islam, (Bairut: Dar al-Fiqr, 1998) hal. 859
- ‘Ali al-Syaukani, Muhammad ibn, t.th.
Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq al_Haqq min ‘Ilm
al-Ushul, Bairut: Dar al-Fiqr.
- Amrullah,
Abdul Karim, 1984. Pengantar Ushul Fiqh, Jakarta: PT. Pustaka Panjimas.
- Abdullah, Sulaiman, 1995.
Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya,
Jakarta: Sinar Grafika.
- Departemen
Agama RI, 1971. Al Qur’an dan Terjemahan. Jakarta : Yayasan
Penerjemah Al Qur’an Depag RI.
- Effendi,
Satrio, 2005. Ushul Fiqh, Jakarta : Prenada Media.
- Hasan
al-Jizani, Muhammad ibn Hasan ibn, 1419 H.
Mu’alimu Ushul Fiqh ‘inda Ahlu
Sunnah wal Jama’ah, Riyad: Dar ibnul Jauzi.
- Hamid
Hakim, Abdul, 1345 H. Mabadi
Awaliyah fi Ushulil Fiqh wa Qowa’idul
Fiqhiyah, Jakarta
: Maktabah Sa’adiyah Putra