Selasa, 29 Mei 2012

hukum perdata


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
B.     Rumusan Masalah
Adapun batasan pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Apa Perbedaan Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia dan Hukum Perdata yang berlaku di Belanda…?
2.      Bagaimana Analisis Status Perkawinan Internasional dan Perjanjian Perkawinan
C.    Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah  :
1.      Agar Kita mengetahui Perbedaan Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia dan Hukum Perdata yang berlaku di Belanda
2.      Agar Kita mengetahui Analisis Status Perkawinan Internasional dan Perjanjian Perkawinan
3.      Sebagai bukti penyelesaian tugas yang diamanahi dosen kepada kami.








BAB II
PEMBAHASAN
  1. Perbedaan Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia dan Hukum Perdata yang berlaku di Belanda
Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.
Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW)yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian. Kitab undang-undang hukum perdata (disingkat KUHPer) terdiri dari empat bagian, yaitu:
* Buku I tentang Orang; mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
* Buku II tentang Kebendaan; mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu); (ii) benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU tentang hak tanggungan.
* Buku III tentang Perikatan; mengatur tentang hukum perikatan (atau kadang disebut juga perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda)), yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer.
* Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.
Sistematika yang ada pada KUHP tetap dipakai sebagai acuan oleh para ahli hukum dan masih diajarkan pada fakultas-fakultas hukum di Indonesia.
Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Dalam tradisi hukum di daratan Eropa (civil law) dikenal pembagian hukum menjadi dua yakni hukum publik dan hukum privat atau hukum perdata. Dalam sistem Anglo Sakson (common law) tidak dikenal pembagian semacam ini.
KUHPerdata
Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat [Belanda] yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang
RI misalnya mengenai UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, UU Kepailitan. Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem di angkat menjadi ketua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer masing- masing sebagai anggota yang kemudian anggotanya ini diganti dengan Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes. Kodifikasi KUHPdt. Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948.
Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan Undang – Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang Hukun Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.
  1. Analisis Status Perkawinan Internasional dan Perjanjian Perkawinan
Seorang WNI menikah dengan warga negara Prancis di Jepang. Mereka beragama Kristen Katolik, tetapi tidak melangsungkan perkawinan menurut hukum agama (pernikahan di gereja). Perkawinan ini telah didaftarkan di kedutaan besar masing-masing di Jepang. Mereka masih akan berdomisili di Jepang minimal satu hingga tahun mendatang. Setelahnya, mereka belum memutuskan, tetapi mereka  sepakat anak di kemudian hari akan dilahirkan dan dibesarkan di Prancis.
Analisis
Sejak diberlakukannya UU 1/1974, perkawinan beda agama dilarang, tapi perkawinan antar-warga negara Indonesia dengan warga negara asing selama memenuhi syarat-syarat hukum Indonesia boleh dilakukan berdasarkan Pasal 57-62 UU 1/1974.
Perkawinan WNI yang dilangsungkan di luar negeri berlaku Pasal 56 UU 1/1974 yang mengatur untuk setiap perkawinan WNI di luar negeri berlaku asas lex loci celebrationis. Asas ini berarti perkawinan harus dilaksanakan berdasarkan hukum negara di mana perkawinan dilangsungkan, dalam kasus ini hukum Jepang. Hukum Perkawinan Jepang, lewat Horei Law hanya mengatur perkawinan secara perdata dan menjunjung tinggi pilihan hukum yang dilakukan para pihak. Sehingga perkawinan anda secara formal telah sah.
Tapi pelaksanaan Pasal 56 harus didahului pelaksanaan Pasal 60 UU 1/1974 yang menyatakan setiap WNI yang hendak menikah harus memenuhi persyaratan materiil dan konsepsi perkawinan yang ditentukan UU 1/1974.
Setelah sah berdasarkan hukum agama barulah muncul keharusan untuk mencatatkan perkawinan ke kantor catatan sipil. Kedutaan besar bukanlah kantor catatan sipil. Tapi catatan sipil yang harus didatangi adalah Catatan Sipil Jepang, bukan Catatan Sipil Indonesia. Akta yang dikeluarkan oleh catatan sipil Jepang berlaku universal, tapi agar dapat memiliki akibat hukum di Indonesia, perkawinannya harus didaftarkan ke buku pendaftaran di Perwakilan RI dan dilaporkan ke Catatan Sipil Indonesia, yaitu di wilayah asal WNI tersebut (misalnya: Kantor Catatan Sipil Jakarta Barat, Bogor, atau Bekasi).
Pelaporan perkawinan biasanya dilakukan dalam jangka setahun setelah pasangan kembali ke Indonesia ke daerah asal WNI. Untuk melaporkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil Jakarta menurut Pasal 72 Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 16 Tahun 2005 diperlukan dokumen-dokumen bukti pengesahan perkawinan di luar Indonesia, kutipan akta kelahiran, kartu keluarga dan kartu tanda penduduk, kutipan akta perceraian atau kutipan akta kematian suami/istri bagi mereka yang pernah kawin, paspor kedua mempelai, dan pas foto berdampingan ukuran 4x6 cm empat lembar.
Terhadap anak, pelaporan perkawinan juga diperlukan sehingga status dwi kewarganegaraannya diketahui. Lalu dengan diketahuinya status dwikewarganegaraan, seorang anak nanti dapat memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan WNI lainnya seperti memiliki tanah. Jika status WNI-nya tidak diketahui, ia nantinya akan kesulitan untuk menerima warisan atau melakukan perbuatan hukum apa pun yang menyangkut tanah atau apa pun yang dibatasi untuk orang asing.
Pasal 1395 Code Civil Prancis kurang lebih juga menyatakan perjanjian kawin hanya boleh dilakukan sebelum perkawinan terjadi. Selain itu, secara umum, Code Civil Prancis mengatur perjanjian kawin sebagai hukum yang berlaku atas harta perkawinan, bukan atas hukum atau cara mendidik anak.
Secara internasional, Prancis juga tunduk pada the Hague Convention on the Law Applicable to Matrimonial Property Regimes. Pasal 3 Konvensi di atas juga dengan tegas menyatakan perjanjian perkawinan harus dilaksanakan sebelum perkawinan berlangsung. Jika tidak dibuat sebelum menikah maka atas harta kekayaan mempelai setelah kawin harus diatur mengikuti tempat tinggal tetap mempelai setelah menikah atau hukum negara yang paling banyak terkait.
A.          Analisa Menurut Teori Hukum Perdata Internasional
Menurut teori Hukum Perdata Internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya.
Sejak dahulu diakui bahwa soal keturunan termasuk status personal. Negara-negara common law berpegang pada prinsip domisili (ius soli) sedangkan negara-negara civil law berpegang pada prinsip nasionalitas (ius sanguinis). Umumnya yang dipakai ialah hukum personal dari sang ayah sebagai kepala keluarga (pater familias) pada masalah-masalah keturunan secara sah. Hal ini adalah demi kesatuan hukum dalam keluarga dan demi kepentingan kekeluargaan, demi stabilitas dan kehormatan dari seorang istri dan hak-hak maritalnya.
 Sistem kewarganegaraan dari ayah adalah yang terbanyak dipergunakan di negara-negara lain, seperti misalnya Jerman, Yunani, Italia, Swiss dan kelompok negara-negara sosialis.
Dalam sistem hukum Indonesia, Prof.Sudargo Gautama menyatakan kecondongannya pada sistem hukum dari ayah demi kesatuan hukum dalam keluarga, bahwa semua anak–anak dalam keluarga itu sepanjang mengenai kekuasaan tertentu orang tua terhadap anak mereka (ouderlijke macht) tunduk pada hukum yang sama. Kecondongan ini sesuai dengan prinsip dalam UU Kewarganegaraan yang lama yaitu UU No.62 tahun 1958.
Kecondongan pada sistem hukum ayah demi kesatuan hukum, memiliki tujuan yang baik yaitu kesatuan dalam keluarga, namun dalam hal kewarganegaraan ibu berbeda dari ayah, lalu terjadi perpecahan dalam perkawinan tersebut maka akan sulit bagi ibu untuk mengasuh dan membesarkan anak-anaknya yang berbeda kewarganegaraan, terutama bila anak-anak tersebut masih dibawah umur.
B.           Analisa Menurut Undang-undang nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan
Undang-Undang kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut:
1.      Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
2.      Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
3.      Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
4.      Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Undang-Undang tersebut pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian.
Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang.
Berdasarkan UU ini anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah kawin maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin.
 Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil dari perkawinan campuran. Namun perlu ditelaah, apakah pemberian kewaranegaraan ini akan menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari atau tidak. Memiliki kewarganegaraan ganda berarti tunduk pada dua yurisdiksi.
Indonesia memiliki sistem Hukum Perdata Internasional peninggalan Hindia Belanda. Dalam hal status personal indonesia menganut asas konkordasi, yang antaranya tercantum dalam Pasal 16 A.B. (mengikuti pasal 6 AB Belanda, yang disalin lagi dari pasal 3 Code Civil Perancis). Berdasarkan pasal 16 AB tersebut dianut prinsip nasionalitas untuk status personal. Hal ini berati warga negara indonesia yang berada di luar negeri, sepanjang mengenai hal-hal yang terkait dengan status personalnya , tetap berada di bawah lingkungan kekuasaan hukum nasional indonesia, sebaliknya, menurut jurisprudensi, maka orang-orang asing yang berada dalam wilayah Republik indonesia dipergunakan juga hukum nasional mereka sepanjang hal tersebut masuk dalam bidang status personal mereka. Dalam yurisprudensi indonesia yang termasuk status personal antara lain perceraian, pembatalan perkawinan, perwalian anak-anak, wewenang hukum, dan kewenangan melakukan perbuatan hukum, soal nama, soal status anak-anak yang dibawah umur.
Bila dikaji dari segi Hukum Perdata Internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas, maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara yang lain.
Sebagai contoh adalah dalam hal perkawinan, menurut hukum Indonesia, terdapat syarat materil dan formil yang perlu dipenuhi. Ketika seorang anak yang belum berusia 18 tahun hendak menikah maka harus memuhi kedua syarat tersebut. Syarat materil harus mengikuti hukum Indonesia sedangkan syarat formil mengikuti hukum tempat perkawinan dilangsungkan. Misalkan anak tersebut hendak menikahi pamannya sendiri (hubungan darah garis lurus ke atas), berdasarkan syarat materiil hukum Indonesia hal tersebut dilarang (pasal 8 UU No.1 tahun 1974), namun berdasarkan hukum dari negara pemberi kewarganegaraan yang lain, hal tersebut diizinkan, lalu ketentuan mana yang harus diikutinya.
Hal tersebut yang tampaknya perlu dipikirkan dan dikaji oleh para ahli hukum perdata internasional sehubungan dengan kewarganegaraan ganda ini. Penulis berpendapat karena undang-undang kewarganegaraan ini masih baru maka potensi masalah yang bisa timbul dari masalah kewarganegaraan ganda ini belum menjadi kajian para ahli hukum perdata internasional.




BAB III
PENUTUP
Dari uraian tersebut dapat dirumuskan beberapa kesimpulan, sebagai berikut :
            Sebagai makhluk sosial setiap manusia selalu mengadakan hubungan dengan manusia lain. Hubungan ini terjadi sejak manusia dilahirkan sampai meninggal dunia. Timbulnya hubungan antara manusia secara kodrati, artinya makhluk hidup sebagai manusia itu dikodratkan untuk selalu hidup bersama. Melaksanakan kodrat hidup sebagai proses kehidupan manusia yang terjadi dilakukan sejak lahir sampai meninggal dunia.
Proses kodrati itu terjadi sejak manusia dikodratkan lahir terdiri dari jenis kelamin pria dan wanita. Kedua jenis kelamin itu suatu waktu akan membentuk suatu keluarga. Setiap manusia dikodratkan memiliki kekayaan yang diperoleh selama hidupnya, selanjutnya akan diberikan kepada yang berhak untuk melanjutkan kalau telah meninggal dunia. Proses kodrati ini akan di alami oleh setiap manusia, kecuali ada hal-hal yang menghalanginhya, dan slalu berkaitan dalam hubungan antar sesama.
Terhadap orang-orang ini, kecuali ”wanita yang bersuami” yang telah dihapus oleh surat edaran Mahkamah Agung No.3 tahun 1963, merupakan pengecualian dari setiap pribadi dalam menggunakan haknya untuk melakukan tindakan hukum sendiri.
            Pengertian dewasa menurut hukum adat pada umumnya tergantung kepada penilaian masyarakat adat masing-masing. Hal ini sering kali dikaitkan dengan saat selesainya peralihan masa anak akhir yang pada dirinya telah dinyatakan sebagai seorang yang dapat mempunyai keturunan.








DAFTAR PUSTAKA

Sumber Utama :
Abdul  Djamali, R., SH., 1984. Pengantar Hukum Indonesia. Bandung. PT Raja Grafindo Persada
Sumber dari buku lain :
Prof. Mr. L.J. van Apeldoorn-Inleiding tot de studie van het Nederlandsche Recht
Buku II ”Hukum Perdata”, ”Hukum Acara Perdata”, ”Hukum Agraria”
Kansil, C.S.T Drs. S.H, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia
Arief Masdoeki, S.H.-Asas dan Dasar Hukum Perdata
Rujukan dari internet :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar